Di Balik Novel Untaian Kalimat Cinta
Wajah-wajah lesu, sedih dan lemas masih menyelimuti raut wajah orang-orang di pengungsian. Hari ini adalah hari ketiga setelah gelombang raksasa itu meluluhlantakkan kampung kami. Sang mentari baru saja mengintip di celah-celah gunung dan pepohonan di sebelah kananku. Aku terduduk diam sambil memegang kedua lutut dan bersandar di sebuah pohon yang rindang dekat rumah tempat kami mengungsi. Mataku memandang jauh ke depan dengan tatapan kosong seolah memandang laut lepas. Padahal tidak ada laut di depanku, hanya ada jalan kampung yang dipenuhi dengan truk tentara yang lalu lalang membawa pasukan untuk terus membantu masyarakat mencari dan menemukan mayat-mayat yang bergelimpangan di seluruh kecamatan.
Wuushhhh..... terasa angin menyapa lembut menyentuh wajahku. aku semakin terlena dengan tatapan kosong yang tanpa batas. Dengan lutut yang masih terasa lemah tak berdaya walau hanya untuk sekedar bangkit dan berdiri. Tsunami itu benar-benar menghancurkan segalanya, rumah, sekolah, perkampungan dan bahkan bukan hanya itu, Tsunami itu juga menghancurkan cita-cita, menelan impian dan memupuskan harapan walau hanya untuk sekedar untuk hidup. Jangan tanyakan kami tentang harapan untuk melanjutkan sekolah. Semua sudah sangat mustahil walaupun hanya untuk singgah di pikiran kami. Dengan pikiran berkecamuk, trauma dan takut terus menghantui di setiap hela nafas. Sesekali, gempa susulan masih sering terjadi seakan terus mengingatkan kami bahwa semua itu belum berakhir.
Terbayang kembali wajah-wajah sahabat yang sebelumnya bersama, dalam sekejap mereka hilang entah kemana. Aku masih berharap semua ini hanyalah mimpi. Aku masih berharap sebentar lagi aku akan terbangun dan semua akan baik-baik saja. Namun harapan itu tak kunjung hadir. Aku terus merasa seperti dalam mimpi.
Ya, nyatanya ini memang hanya mimpi, bagi orang-orang yang tidak mengalaminya. Atau mungkin bagi anak cucuku kelak. Mungkin kelak mereka akan dengan mudah berpikir bahwa tragedi Tsunami ini hanyalah sebuah cerita mimpi dari seorang pendongeng yang baru bangun dari tidurnya.
Tapi bagiku hari ini, semua itu nyata kualami, aku tidak sedang tertidur, aku sadar hingga beberapa kali kucoba mencubit kulit lengan dan menepis kedua pipiku berharap aku akan terbangun, ke kamar mandi lalu tidur lagi. Namun tetap saja aku tidak terbangun, ya, karena aku memang sedang terbangun, aku tidak sedang tidur.
Dalam tatapan kosong itu, beragam pertanyaan dan pernyataan berayun-ayun di benak pikiranku. Dimana kami akan tinggal nanti sementara rumah sudah tidak ada lagi?, bagaimana kondisi Kakak dan Abangku yang sedang di luar kota?, apa yang akan kami makan dalam beberapa hari ke depan? sedangkan saat ini semua orang sudah tidak memiliki uang dan stok makanan semakin menipis, bagaimana dengan kelanjutan sekolahku? padahal aku sudah kelas tiga SMK dan sebentar lagi akan mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN).
Muncul Ide Menulis Novel
Tsunami ini dahsyat, bahkan super dahsyat yang pernah terjadi. Dimulai dengan guncangan gempa yang sangat kuat, hingga gulungan gelombang raksasa yang muncul dari laut menghantam perkampungan hingga nyaris semuanya rata dengan tanah. Tragedi ini terjadi dalam sekejap mata, tapi tidak mungkin bisa terlupakan bahkan untuk selama-lamanya.
"Suatu saat nanti, aku akan menuliskan tragedi ini menjadi sebuah novel, agar anak cucuku kelak tahu sepertia apa gambaran yang aku alami hari ini". Begitu gumamku dalam hati.
Ide untuk menulis novel ini muncul begitu saja seketika saat semua lamunanku sampai pada ujungnya dan aku dikejutkan oleh guncangan gempa susulan yang masih terus terjadi. Trauma itu masih mengakar kuat dalam diri setiap orang, sedikit ada guncangan atau suara bergemuruh, semua panik dan berlari tanpa tahu kemana arah tujuannya.
Ide untuk menulis novel yang menceritakan kisah detik-detik Tsunami itu terus tertanam dalam pikiranku. Namun dengan hanya mengandalkan hobi dan pengalaman menulis karangan bebas saat Sekolah Dasar (SD), rasa-rasanya aku mulai pesimis novel itu akan jadi. Ditambah dengan kondisi setelah Tsunami ini, tidak ada yang bisa dimanfaatkan untuk aku mulai menulis walau hanya sehelai kertas dan sepucuk pena.
***
Empat Tahun Kemudian
Empat tahun kemudian, saat itu sedang viral-viralnya novel fenomenal karya Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy) yang judulnya Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Saat membaca kedua novel itu, ide untuk menulis novel seolah tumbuh kembali dari akarnya. Namun beragam keraguan muncul juga, ragu dapat menyelesaikan naskah, ragu dengan kemampuan menulis dan merangkai kata, takut ditertawakan teman, takut ditolak penerbit dan ditambah lagi dengan kesibukan kuliah hingga menyelesaikan tugas akhir, sehingga novel itu tidak pernah tertulis sedikipun.
Hingga saat novel Ketika Cinta Bertasbih dan Ayat-Ayat cinta diadopsi menjadi film. Baru kemudian semangatku untuk menulis muncul dengan dahsyatnya. Berbekal sebuah komputer pentium 4 dan monitor tabung warna hitam. Aku langsung menulis kata demi kata hingga tersusun menjadi beberapa kalimat hingga menjadi paragraf pertama. Kemudian aku berhenti sejenak, membaca kembali kata-demi kata pada kalimat pertama yang baru saja selesai kutulis.
Ternyata Benar Aku Bisa Menulis
"Waaaawww.... Aku bisa menulis novel...It's Amazing". Begitu gumamku dalam hati tentunya sambil senyum-senyum sendiri. Seolah baru saja terpilih sebagai pemenang Writer of The Year, begitulah kira-kira perasaan hati.😀
Hari demi hari terus aku menulis, merangkai kata sambil mengingat kembali detik-detik tragedi Tsunami itu terjadi, saat aku berlari, melihat gelombang raksasa berwarna coklat kehitam-hitaman, merasakan kembali aroma lumpur yang menyengat hidung. jari-jemariku terus mengetik dengan lihainya seakan tak mau berhenti. Semakin aku terus mengetik, ide-ide baru terus bermunculan untuk menemukan karakter-karakter yang akan masuk dalam ceritaku. begitu juga ide-ide untuk pengembangan alur cerita agar lebih menarik.
Namun writer blog tetap saja terus menghadang di tengah jalan, sempat penulisan novel ini terhenti nyaris 1 tahun tanpa ada satu kata pun bertambah, bahkan foldernya tidak pernah kubuka. Saat writer block menghadang aku menyerah. Benar-benar blank enggak tahu mau tulis apa. Tahun berikutnya aku mulai sadar bahwa untuk menjadi penulis, aku harus belajar. Mulailah aku belajar dari media-media yang bisa kumanfaatkan untuk menggali informasi dan ilmu kepenulisan dari penulis-penulis profesional.
Saat semangat itu muncul lagi dan hadangan writer block berhasil kulewati, Alhamdulillah novel ini pun jadi. Setelah lama mencari judul yang tepat, muncul beberapa pilihan judul yang berhasil kukumpulkan, hingga akhirnya aku memilih Untaian Kalimat Cinta sebagai judul novel pertama ini karena terdapat kalimat-kalimat cinta yang teruntai di dalam kisahnya, dari Aceh hingga Jepang. Dengan harapan agar novel ini, terutama kisah detik-detik Tsunami yang pernah nyata kualami itu dapat dibaca dan dihayati oleh anak cucuku kelak dan mereka jadi tahu bahwa Tsunami pernah nyata terjadi yang dahsyatnya melebihi batas logika manusia.
![]() |
| Novel Untaian Kalimat cinta |


0 Komentar